Buat agan-agan yang lagi butuh contoh makalah tentang Kenakalan Remaja, mungkin posting kali ini bisa membantu agan sekalian dalam menyelesaikan tugas Sekolah dll. silahkan di copas....
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat
difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk
kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan
peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah
pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama
dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas
tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan
karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru
nilai-nilai dari demokrasi.
Tawuran yang sering dilakukan pada
sekelompok remaja terutama oleh para pelajar seolah sudah tidak lagi menjadi
pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi ditelinga kita. Inilah beberapa
contoh yang bisa kita kemukakan sebagai bukti terjadinya tawuran yang dilakukan
oleh para remaja beberapa tahun lalu.Dalam hal tawuran, di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah
mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus
dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu
hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus.
B. Rumusan masalah
Kalau kita baca uraian diatas jelas
sangat tidak sinkron antara tujuan UU no.20 tahun 2003 tetang system pendidikan
dengan kenyataan yang ada dilapangan, bahkan jauh sebelum UU no. 20 tahun 2003
lahir, tawuran pelajar sudah terjadi,, pertanyaannya adalah apakah dengan
lahirnya UU no. 20 tahun 2003
bisa mengatasi tawuran pelajar ? atau mungkin ada masalah lain ?.
Bagaimana
mengatasi tawuran yang hampir tiap hari terjadi di Jakarta ? langkah-langkah apa saja yang bisa
dilakukan agar tawuran
bisa diatasi
BAB II
Landasan Teori
1. Pengertian Tawuran
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai
perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang
manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan
oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia
remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile
deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke
dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
a. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya
situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya
muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
b. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian
itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan,
norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi.
Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan
oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang
remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk
inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok
teman sebayanya.
2. Teori
Belajar social
Teori belajar sosial lebih memperhatikan
faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam
kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif dipelajari dari
model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau
melalui media massa.
3 . Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk
stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan
menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah
teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient
condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani
dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang
mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan
dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur
yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan
(dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat
menimbulkan dua efef yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
BAB III
PEMBAHASAN
Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku negatif
yang sangat marak terjadi dikota -kota besar, misalnya Jakarta. Permasalahan
remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelaian
masal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata
api. Banyak korban yang berjatuhan, baik karena luka ringan, luka berat, bakan
tidak jarang terjadi kematian. Tawuran ini juga membawa dendam berkepanjangan
bagi para pelaku yang terlibat didalamnya dan sering berlanjut pada tahun-tahun
berikutnya.
Hal ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan.
Generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa kearah yang lebih baik
ternyata jauh dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi
masa depan bangsa. Lickona menyebutkan beberapa tanda dari perilaku manusia
yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa antara lain meningkatnya
kekerasan dikalangan remaja, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan
kekerasan, dan semakin kaburnya pedoman moral.
1. Faktor- faktor yang menyebabkan tawuran pelajar
Berikut
ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar, diantaranya :
a. Faktor Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri
yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam
menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari
luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi
dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman
lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam.
Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam
memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang
akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki
andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah friustasi, tidak mudah
mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang disekitarnya. Seorang
remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah
orang-orang sekelilingnya. Di
antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan.
Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dalam studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog
sosial, menyatakan bahwa kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan
bentukan emosi yang menekan manusia secara eksistensial. Disisi yang lain, Eric
Fromm menyatakan bahwa kekerasan adalah wujud dari ketakutan dan keterancaman.
Dari dua teori diatas, kita tentu memahami mengapa pelajar melakukan kekerasan.
Sebagai manusia remaja, pelajar, dalam pengalaman keseharian mereka, merasakan
bentukan hegemoni dari orang yang lebih dewasa (orang tua, guru dan sekolah itu
sendiri) melalui aturan normative yang membelit kebebasan mereka. Mereka lebih
sering dituntut untuk memahami segala bentuk tatanan yang sifatnya baru bagi
mereka daripada diberikan kebebasan untuk berpikir kritis atas tatanan-tatanan
tersebut. Mereka merasakan sebuah keterancaman eksistensial dimana keberadaan
mereka tidak terlalu diakui sebagai selayaknya manusia yang setara. Mereka
adalah gudang kesalahan yang setiap hari selalu diposisikan sebagai sosok yang
tidak pernah benar di mata orang dewasa.
Mereka berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan
senasib. Perasaan senasib tersebut menimbulkan sebuah solidaritas masal yang
sifatnya fanatis dan simbolik. Mereka yang tidak bisa memenuhi tuntutan
solidaritas tidak akan terekrut dalam kelompok-kelompok yang ada. Disinilah
mereka harus menunjukan jati diri eksistensi mereka. Minuman keras, narkoba, dan
perkelahian bukan sekedar eksperimentasi mereka sebagai remaja melainkan juga
menjadi semacam metode simbolik untuk bisa diterima oleh kelompok-kelompok yang
ada. Tanpa kelompok-kelompok itu, mereka akan mengalami perasaan kesepian yang
mendalam karena teralienasi baik oleh kelompok manusia dewasa maupun seusia
mereka.
b. Faktor Eksternal
Faktor
eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu, yaitu :
1. Faktor Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua
diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam
keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa
melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya.
Selain itu ketidak harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab
kekerasan yang dilakukan oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan
rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik
dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994). Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja
dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi
anak (hawari, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab
kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure
teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997). Jadi disinilah peran orangtua
sebagai penunjuk jalan anaknya untuk selalu berprilaku baik.
2. Faktor Sekolah
Dalam beberapa diskusi atau tulisan yang dimuat di media masa,
beberapa ahli atau penggiat pendidikan sering mengopinikan adanya kebutuhan
akan kegiatan-kegiatan positif yang mampu mewadahi kreativitas dan dinamisasi
kehidupan remaja dalam rangka mengurangi angka terjadinya tawuran antar siswa
baik di tingkat SMP atau SMU. Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam
aktivitas persahabatan antar sekolah yang lebih menitikberatkan kepada
persoalan-persoalan ilmiah. Dari kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban
universal diantara mereka para pelajar.
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan para siswa pandai
secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah
untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa
menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya
kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya disekolah tidak jarang
ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik
anak muruidnya akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui
kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran
guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian yang
baik.
Menjadi guru lebih mudah ketimbang
menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan perasaan diterima dan diakui
sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan siapapun juga. Mereka muak
untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan untuk dipahami. Perilaku
mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan teralienasi dalam dunia belajar
mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang mungkin dilakukan adalah merubah
paradigma guru. Guru sebaiknya memahami mereka sebagai remaja yang lahir dari
kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang berbeda. Kultur remaja memiliki
belief dan values sendiri yang tidak bisa ditekan untuk menerima kultur dewasa
yang universal. Menekan mereka hanya akan membentuk bangunan hegemoni kepada
mereka yang terkompensasi dalam perilaku destruktif mereka sebagai sebuah
simbol perlawanan eksistensial demi mendapatkan pengakuan
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi
perilaku remaja. Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik
akan menjadikan remaja tersebut ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering
remaja lihat akan membentuk pola kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini
membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan untuk
mengisi waktu senggang oleh para pelajar disekitar rumahnya juga bisa
mengakibatkan tawuran.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam
diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran
pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata
psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah,
tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi
dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah. Tawuran
juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat
keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran
selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement
in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan
adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
2. Hal yang menjadi pemicu tawuran
Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan
terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan
sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk
carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun
kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja mengkambinghitamkan
problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku
negatif pelajar. Disinilah letak penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang
mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak efektif mengurangi
angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow,
mengkategorikan beberapa motif perilaku kepada bangunan piramida motivasi
manusia. Dalam teori motivasinya, Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi
tindakan manusia adalah untuk memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya.
Disinilah titik penting yang sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam
menyoroti fenomena tawuran antar pelajar selama ini.
Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara
dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai
menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh
komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut
terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan
tidak mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah
mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran
kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang
perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.
Banyak sekali alasan yang bisa menjadikan tawuran antar-pelajar
terjadi. Pelajar sering kali tawuran hanya karena masalah sepele, seperti
saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola.
Bahkan, yang baru terjadi awal bulan ini, tawuran dipicu saling ejek di
Facebook, yang kemudian sampai menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang.
Padahal, jejaring sosial, kan, hanya untuk having fun, bukan untuk menjadi
pemicu tawuran.
Tak jarang disebabkan oleh hanya saling menatap antar sesama
pelajar yang berbeda sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi
pemicu tawuran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Selain alasan-alasan yang
spontan, ada juga tawuran antar-pelajar yang sudah menjadi tradisi.
Dari jajak pendapat Kompas pada bulan
Oktober, dengan responden di 12 kota di Indonesia, diketahui sebanyak 17,5
persen responden mengakui bahwa saat dia bersekolah SMA, sekolahnya pernah
terlibat tawuran antar-pelajar. Tidak sedikit pula responden atau keluarga
responden yang mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran atau perkelahian
massal pelajar. Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau sekitar 29 responden.
Di antara
pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan.
Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti
perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam
diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran
pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata
psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah,
tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi
dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah.
Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat
keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran
selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement
in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan
adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
3. Dampak karena tawuran pelajar
a. Kerugian fisik, pelajar yang ikut tawuran
kemungkinan akan menjadi korban. Baik itu cedera
ringan, cedera berat, bahkan sampai kematian
b. Masyarakat sekitar juga dirugikan. Contohnya :
rusaknya rumah warga apabila pelajar yang tawuran itu melempari batu dan
mengenai rumah warga
c. Terganggunya
proses belajar mengajar
d. Menurunnya
moralitas para pelajar
e. Hilangnya
perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai
4. Hal-hal yang dapat dilakukan
untuk mengatasi tawuran pelajar
Untuk menghilangkan tawuran antar-pelajar yang sudah mengakar,
tentu dibutuhkan usaha keras. Banyak usulan yang dilontarkan untuk mengurangi
tawuran antar-pelajar. Beberapa di antaranya memindahkan sekolah, memotong
generasi di sekolah, atau memotong mata rantai tradisi tawuran.
Salah satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan
adalah memindahkan letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu
ramai di tengah kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa. Pada
periode 1980-an, SMA 7 Gambir, Jakarta, terlibat konflik dengan STM Boedi
Oetomo Pejambon. Kemudian, pada awal tahun 1990-an, SMA 7 dipindahkan ke
wilayah Karet Pejompongan untuk memutus tawuran dengan STM Boedi Oetomo.
Ketua KPAI
Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, tradisi tawuran bisa diputus dengan
menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak di rumah. ”Keluarga mempunyai peranan
penting untuk menanamkan nilai menghargai perbedaan, yang nyata dalam kehidupan
dan tidak bisa dihindari. Nah, bagaimana menghargai perbedaan itu menjadi
sesuatu yang positif,” kata Maria Ulfah.
Untuk
itulah, ketika melakukan mediasi antara SMA 6 dan SMA 70 Jakarta, KPAI juga
mengundang pihak orangtua. ”Sistem pendidikan kita seharusnya juga ikut
mendukung itu. Dulu ada pelajaran budi pekerti, tetapi kurikulum
menghilangkannya dengan alasan sudah terintegrasi dengan pelajaran lain.
Padahal, kenyataannya, nilai-nilai dari budi pekerti itu memang tidak
diajarkan, hilang begitu saja,” ujarnya.
Maria
Ulfah juga mengusulkan memotong mata rantai pemicu tawuran. Terkadang kita
tidak tahu apa yang menjadi penyebab tawuran, yang kemudian mengakar sampai ke
generasi berikutnya. Nah, kata Maria Ulfah, mengapa tidak mengubah paradigma
tawuran, permusuhan antar-pelajar tak perlu disikapi dengan perlawanan.
”Harus
diputus tradisi senior yang memanas-manasi yuniornya supaya terlibat tawuran.
Ada baiknya pula menghidupkan kembali pertandingan persahabatan antarsekolah.
Kalau zaman dulu pertandingan olahraga bisa mempererat hubungan antarpelajar,
kenapa sekarang tidak?” ungkapnya. Harapan KPAI tentu menjadi harapan kita
semua.(suSIE berindra)
Cara
mengatasi tawuran, sekolah juga bisa melakukan dengan cara:
a. Memberikan
pendidikan moral untuk para pelajar
b. Menghadirkan seorang figur yang baik untuk
dicontoh oleh para pelajar. Seperti hadirnya seorang guru, orangtua,
dan teman sebaya yang dapat mengarahkan para pelajar untuk selalu bersikap baik
c. Memberikan perhatian yang lebih untuk para
remaja yang sejatinya sedang mencari jati
diri
d. Memfasilitasi para pelajar untuk baik dilingkungan
rumah atau dilingkungan sekolah untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat diwaktu luangnya.
Contohnya : membentuk ikatan remaja masjid atau karangtaruna dan membuat
acara-acara yang bermanfaat, mewajibkan setiap siswa mengikuti organisasi atau
ekstrakulikuler disekolahnya.
e. Bahkan antara tahun 2002 sampai tahun 2005 tawuran
mulai berkurang karena pada saat itu Dinas Pendidikan DKI Jakarta memberikan
instruksi kepada seluruh sekolah khususnya SLTA agar tiap-tiap sekolah siswanya mengikuti
kegiatan kesiswaan dengan system mentoring.
Kartini
kartono pun menawarkan beberapa cara untuk mengurangi tawuran remaja, diantaranya
:
1. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri
dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan
tidak menuntun
2. Memberikan kesempatan kepada remaja untuk
beremansipasi dengan cara yang baik
dan sehat
3. Memberikan bentuk kegiatan dan
pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang
serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Faktor yang menyebabkan tawuran remaja tidak lah hanya datang
dari individu siswa itu sendiri. Melainkan juga terjadi karena faktor-faktor
lain yang datang dari luar individu, diantaranya faktor keluarga, faktor
sekolah, dan faktor lingkungan.
Para pelajar yang umumnya masih berusia remaja memiliki
kencenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang mana kemungkinan
dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, maka inilah peran orangtua
dituntut untuk dapat mengarahkan dan mengingatkan anaknya jika sang anak
tiba-tiba melakukan kesalahan. Keteladanan seorang guru juga tidak dapat
dilepaskan. Guru sebagai pendidik bisa dijadikan instruktur dalam pendidikan
kepribadian para siswa agar menjadi insan yang lebih baik.
Begitupun
dalam mencari teman sepermainan. Sang anak haruslah diberikan pengarahan dari
orang dewasa agar mampu memilih teman yang baik. Masyarakat sekitar pun harus
bisa membantu para remaja dalam mengembangkan potensinya dengan cara mengakui
keberadaanya.
2. Saran
Dalam menyikapi masalah remaja terutama tentang tawuran pelajar
diatas, penulis memberikan beberapa saran. Diantaranya :
a. Keluarga sebagai awal tempat pendidikan para
pelajar harus mampu membentuk pola pikir yang baik untuk para pelajar
b. Masyarakat mesti menyadari akan perannya dalam
menciptakan situasi yang kondusif
c. Lembaga pendidikan formal sudah semestinya
memberikan pelayanan yang baik untuk membantu para pelajar mengasah kemampuan
dan mengembangkan segala potensi yang ada didalam dirinya
DAFTAR PUSTAKA
Hartono,
Agung., Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta.,2006
Sarwono, S.W. 2002.
“Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta :
Balai Pustaka.
Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.
Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.
Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.
Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.
Mungkin ini aja makalah yang bisa ane kasih buat agan sekalian, moga bermanfaat...
terimakasih, makalahnya sangat membantu,
ReplyDeleteijin copas ya....
Sama2 mbak, senang bsa mmbantu, jgn lupa mampir lagi
DeleteCakep kaka...
ReplyDeletehehe mksih udah berkunjung
Delete